Minggu, 01 Februari 2009

Perjalanan

Ku hidup dalam keluarga yang sederhana. Semangatku untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lumer sudah. Mengingat kondisi keluarga yang menurun, atau bisa dikatakan tak sejaya dahulu. Bisa saja ku memaksakan kehendak untuk melanjutkannya, tapi ku tak tahu bagaimana kelanjutannya setelah tahun pertama. Sedangkan untuk meraih gelar sarjana, setidaknya aku harus membutuhkan waktu 4 tahun. Aku tak mau kejadian 3 tahun yang silam terulang lagi, dimana orang tua ku mengencangkan ikat pinggang bagi kehidupan sehari-hari karena aku memaksakan untuk sekolah di sebuah sekolah menengah atas terbaik di bagian Jakarta. Sekolah itu memang berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang ada di sekitarku dari segi finansial. Hanya yang memenuhi syarat akademi dan syarat finansial yang dapat merasakan pendidikan di sana.

Berkat keegoisanku, aku memohon agar nilai yang telah kudapat di sekolah menengah pertama tidak sia-sia dengan cara memilih opsi pertama yaitu sekolah tersebut. Ku yakinkan bahwa aku tidak akan membuat mereka kecewa. Benar! serius kujalani selama mengenyam pendidikan disana. Tak jarang pula aku masuk dalam urutan 10 besar selama 3 tahun belajar. Karena ku ingat akan janjiku pada mereka, serta yang tak kalah penting ngenes-nya hatiku, setiap bulan ku harus mengingatkan orang tua ku mengenai pembayaran SPP. Ku bisa merasakan, betapa beratnya cicilan perbulan itu jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain yang ada di daerah sekitarku. Hal itu, tidak pernah kulakukan ketika ku masih smp dahulu. Artinya mereka selalu tepat waktu masalah spp, tidak selalu mendapat peringatan terlebih dahulu dari bagian Tata Usaha.

Awal itu sudah hampir berakhir, namun pada akhir lah sudah menungguku. Ketika teman-temanku sibuk memikirkan universitas mana yang akan mereka ambil setelah lulus nanti, berbeda denganku. Aku memikirkan bisakah aku melanjutkan sekolah untuk saat ini. Melihat kondisi keluarga yang sudah berubah. Setuju jika kehidupan diumpamakan seperti sebuah titik di roda, terkadang berada di atas, tak jarang di bawah. Namun, hal itu bisa kulalui tanpa rasa menyesal, iri, marah. Bagi ku, dapat bersekolah di sini pun sudah merupakan anugerah terindah yang Allah SWT dan orang tua berikan. 

Tiga bulan, ku pergunakan waktu untuk membantu Ibuku di warung kecil-kecilan. Tak jarang aku mencari informasi lowongan kerja. Aku berharap ada sebuah perusahaan yang dapat mempekerjakan kemampuan pendidikanku. Walaupun kuhanya lulusan sekolah menengah atas, tapi aku yakin pada diriku bahwa aku sama mampunya dengan para pesaing pencari kerja bertitel sarjana. Saat itu, rasa optimis dalam diriku begitu kuat. Hingga akhirnya Allah mengabulkan permohonanku lewat seorang teman bapak, yang memberi info kerja dan aku berhasil melewati berbagai macam prosedur penerimaan karyawan baru. Karyawan! ku kira lebih tepat buruh. Karena ketika itu aku tak peduli apakah aku pegawai, karyawan atau buruh. Terpenting aku dapat kerja, dan menghasilkan uang. 

Aku terjun dalam dunia kerja. Di sebuah perusahan yang bergerak di bidang pembuatan barang-barang kebutuhan rumah tangga. Tak peduli aku sebagai apa di sana. Ku penuhi segala perintah mandor ( kurasa istilah itu lebih cocok bagi orang yang hanya mengawasi dan memerintah ). Kini ku dapat merasakan berat, penderitaan, suka, duka bekerja di sebuah pabrik. Aku tak lebih dari seorang buruh pabrik. Bisa dibayangkan bagaimana pergaulanku dengan teman-teman pabrik. Dari berbagai latar belakang kami berinteraksi. Kalau seandainya aku boleh menilai, teman-temanku saat itu adalah mereka yang berpendidikan kurang. Maklum, pendidikan tertinggi di sana adalah sma. Sedangkan mereka yang dibawah sma cukup banyak. Tak jarang perkataan mereka sehari-hari sangat kacau, tak layak didengar kurasa. Terlalu kasar dan tak disaring, mungkin itu bahasa ku. Kucoba membuat tameng dalam diriku, dan mencoba memilih-milih teman yang dapat menbuat ku nyaman diantara mereka. Syukur, aku menemukan seorang yang cocok dengan ku. 

Selama enam bulan, ku lalui hari-hari setelah kelulusanku di sana. Pembayaran yang kuterima cukup untuk membiayai ongkos dan makan sehari-hari. Namun, satu dua kali aku sering kehabisan ongkos. Uang yang kuberikan pada orang tua setiap kali ku terima pembayaran per bulan, tak jarang kembali lagi pada ku karena uang ku yang tak mencukupi untuk pergi kerja. Malu rasanya! sudah memberi, tapi aku meminta lagi. Alhamdulillah, ibu bapak ku bukan tipe orang tua yang menuntut. Mereka selalu mengerti posisi anak-anaknya. 

Karena kegesitan dan kerajinanku ketika bekerja, aku sering dimanfaatkan oleh sesama temanku. Mereka sering melimpahkan tugasnya pada ku, bukan karena sibuk atau hal lainnya. Semata hanya karena mereka ingin santai-santai atau berpura-pura kerja jika ada pengawas yang datang. Ku pikir apalah, salahnya kuterima perlakuan mereka. Toh, aku senang menjalaninya, aku puas dengan kemampuanku, tak jarang aku dipuji oleh mandorku. Aku benar-benar bisa merasakan pekerjaanku yang tak seberapa jika dibandingkan dengan para kuli, tukang batu, tukang sampah, pembersih jalanan dsb. " kerja keras akan menghasilkan kepuasan dalam diri ", itu yang kurasa. " dan keburukan hanya akan menghasilkan penderitaan". 

Lagi, lagi doaku terkabul. Teman dekatku mengajak aku untuk mengirimkan lamaran kerja ke sebuah bank swasta di Jakarta. Sayang sungguh malang, teman yang mengajakku tidak diterima, sedangkan aku yang diajaknya diterima. Sempat terbesit rasa tak enak hati padanya. Namun, dia yang sungguh tulus hatinya justru mendukung aku untuk melanjutkan seleksi berikutnya. Aku tak akan pernah melupakan jasamu, bahkan hingga kini pun. Ku selalu mengingatmu. 

Ku lepas kerjaanku yang lama, masa kerja ku yang terhitung 6 bulan merupakan pengalaman yang sangat kusyukuri. Walaupun tak ada sesuatu ( dilihat dari materi ) yang kuhasilkan selama bekerja disana. Tapi aku sangat senang. Hingga akhirnya ku pamitan pada divisi tempat aku bekerja. 

Optimisku masih terus mengalir untuk mencari keadaan yang lebih baik. Termasuk di tempat kerja ku yang baru, dimana posisi kerja aku lebih baik dari pada yang kemarin. Aku diposisikan sebagai frontliner di sebuah bank swasta di Jakarta. Sebenarnya jika dilihat dari beban kerja, tempat kerjaku yang baru lebih berat daripada yang terdahulu. 

Awal pengalaman terbaru ku terasa menyenangkan. Aku memakai pakaian layaknya seorang yang lulusan sarjana dan bekerja di gedung perkantoran, dengan memakai high heels, dan make up. Tuntutan pekerjaan. Aku cukup bangga, setidaknya aku tidak meminta kekurangan ongkos lagi jika ku berangkat kerja pada orang tua. Sedikit ku merasa lega.